Rabu, 30 Januari 2013

Sekilas Penyakit Ruhaniah


Orang pintar makan untuk bertahan hidup,
sementara orang bodoh bertahan hidup untuk makan.



“Bila sakit berlanjut, hubungi dokter.” Kalimat tersebut sering kita dapatkan setelah tayangan iklan obat sakit kepala, sakit perut, sakit demam, dan penyakit jasmani lainnya di televisi. Ya, penyakit jasmani begitu banyak obatnya. Apabila obat yang dijual bebas tidak mempan, maka upaya penyembuhan dapat dilakukan dengan menghubungi dokter, klinik, atau rumah sakit terdekat. Jaminan kesehatan pun disediakan.

Lain halnya dengan penyakit ruhani atau batin. Iklan obatnya tidak ada, begitu pula dengan klinik, rumah sakit, serta dokter spesialisnya. Tak ada obat khusus penyakit sombong, tidak ada dokter spesialis penyakit dengki, misalnya. Padahal akibat yang ditimbulkan penyakit-penyakit batin itu bisa lebih gawat bila tak diobati segera. Disebabkan sifatnya yang abstrak, penyakit ruhani membutuhkan penanganan yang berbeda dengan penyakit jasmani. Pengetahuan dan pemahaman agama adalah alat untuk mendiagnosis penyakit batin yang menjangkit, serta menyembuhkannya.

Abdurrahman Ibnu al-Jauzi, ulama-psikolog yang hidup di abad kelima Hijrah ini menawarkan pengobatan spiritual yang berupaya menyehatkan dan menyelaraskan nilai-nilai (al-ma’ani). Buku yang berjudul asli al-Thibb al-Ruhani ini merupakan penyempurna buku Luqath al-Manafi yang berisi pengobatan untuk fisik. Buku ini memberikan cara tepat mengatasi aneka problem spiritual, mencegah hawa nafsu agar tidak mengganngu, dan mengobati penyakit yang terlanjur menjangkit akibat menuruti hawa nafsu.

Hawa nafsu adalah kecenderungan naluriah terhadap sesuatu yang selaras dengannya. Ia tidak tercela selama dibolehkan oleh syariat (mubah). Yang tercela, apabila ia melampaui batas kebolehan itu. Di dalam diri manusia terdapat tiga unsur penting, yakni akal (juz’aqli) yang sisi keutamaannya adalah ilmu sedang sisi ketercelaannya adalah kebodohan; kedua, unsur amarah (juz’ ghadhabi) yang menimbulkan ketegasan atau kepengecutan; dan ketiga, unsur hawa nafsu (juz’ syahwani).

Di antara penyakit batin adalah   rakus, cinta birahi, haus kekuasaan, bakhil, boros, bohong, dengki, dendam, marah, sombong, riya, dan malas. Tentang penyakit marah, disampaikan bahwa bila kita sedang marah saat berdiri, maka berbaringlah, karena berdiri saat sedang marah bisa memicu melakukan tindakan kasar. Dan, apabila marah saat bicara, segeralah diam, karena kemarahan dapat memicu tindakan gegabah. Jika orang yang sedang marah tidak dapat menguasai diri dengan cepat, ia dapat melakukan hal-hal merugikan yang akan disesalinya.

Untuk mengobati penyakit marah, si pemarah mestinya berpikir bagaimana jika ia marah, dan bagaimana jika ia bersikap tenang. Ia akan tahu bahwa jika ia marah, sebenarnya ia telah gila dan lepas dari kontrol akal sehat. Dan, jika ia tidak mau membuang amarahnya, ia akan terus berniat untuk menghajar orang yang ia marahi itu. Dengan begitu ia akan bisa tenang. Dalam kondisi tenang, ia dapat memikirkan akibat buruk dari lampias kemarahannya (hal. 62).

Tentang nafsu atas kekuasaan, Ibnu Jauzi memberi nasihat dengan mengutip hadits Nabi, “Setiap orang yang memerintah sepuluh orang, apalagi lebih, akan datang menghadap Allah Swt kelak di hari kiamat dalam keadaan tangannya terbelenggu di lehernya. Tak ada yang bisa melepaskannya selain perbuatan baiknya, atau ia celaka karena dosanya.”

Mengobati penyakit batin memang tidak mudah, kita perlu mengoptimalkan fungsi akal sehat dan hati yang jernih